Review Komik Shuumatsu no Valkyrie. Pagi ini, 7 Oktober 2025, penggemar manga di seluruh dunia heboh setelah Netflix rilis teaser eksklusif untuk Season 3 “Record of Ragnarok” atau “Shuumatsu no Valkyrie” di acara Tudum global event. Teaser itu pamerkan pertarungan baru antara dewa Shiva dan petarung manusia Buddha, lengkap dengan visual upgrade yang bikin mata melek. Ini lanjutan dari euforia Juli lalu saat Volume 25 manga rilis di Jepang, yang tutup arc Zerofuku-Loki dengan cliffhanger brutal. Dirilis pertama kali November 2017 di Monthly Comic Zenon oleh Shinya Umemura dan Takumi Fukui dengan ilustrasi Ajichika, komik ini bukan sekadar shonen action, tapi turnamen epik yang campur mitologi dan sejarah. Dengan lebih dari 14 juta kopi terjual global dan anime yang dominasi chart Netflix, “Shuumatsu no Valkyrie” tetap jadi guilty pleasure di tengah boom adaptasi manga. Di era di mana dewa-dewa modern seperti AI ancam umat manusia, apa yang bikin cerita Ragnarok ini masih relevan? Mari kita review lebih dalam. BERITA TOGEL
Apa Makna dari Komik Ini: Review Komik Shuumatsu no Valkyrie
“Shuumatsu no Valkyrie” adalah alegori ganas tentang perjuangan umat manusia melawan takdir ilahi, di mana dewan dewa—dari Zeus sampai Odin—putuskan hancurkan bumi karena “keusangan” spesies kita. Tapi Brunhilde, valkyrie pemberontak, usulkan Ragnarok: turnamen 13 vs 13 antara dewa dan pahlawan manusia dari sejarah seperti Lu Bu, Adam, sampai Jack the Ripper. Setiap babak bukan cuma pukul-pukulan, tapi cerminan tema eksistensial: apa artinya jadi manusia? Apakah kita layak selamat, atau cuma mainan dewa yang bosan?
Lebih dalam, komik ini eksplorasi dualitas kebaikan dan kejahatan dalam diri—lihat Zerofuku yang ubah jadi Hakari, atau Buddha yang tolak jadi dewa demi kemanusiaan. Umemura dan Fukui ambil inspirasi mitologi Norse, Yunani, Hindu, plus tokoh nyata seperti Sasaki Kojiro, untuk tanya: kekuatan sejati dari mana? Dari senjata divine seperti Volundr, atau tekad primal? Klimaks setiap arc, seperti Adam vs Zeus yang simbolkan pemberontakan Eden, ingatkan bahwa kemanusiaan bukan soal menang, tapi bertahan dengan martabat. Di Volume 25 baru-baru ini, tema itu makin tajam saat Loki manipulasi emosi, mirror bagaimana “dewa” modern seperti politik atau teknologi mainkan nasib kita. Intinya, komik ini bilang: Ragnarok bukan akhir dunia, tapi ujian apakah kita bisa bangkit dari kekalahan—sebuah pesan ketahanan yang pas untuk 2025 yang penuh krisis.
Apa yang Membuat Komik Ini Populer: Review Komik Shuumatsu no Valkyrie
Kesuksesan “Shuumatsu no Valkyrie” datang dari formula adiktif: fight choreography brutal yang kayak balet berdarah, dibalut tokoh ikonik yang campur fiksi dan fakta. Ilustrasi Ajichika bikin setiap panel terasa sinematik—dari pose dramatis Lu Bu lawan Thor sampai efek slow-mo pukulan Adam—bikin pembaca flip halaman nonstop. Serialisasi bulanan di Coamix bikin hype naik, apalagi dengan cliffhanger yang bikin forum Reddit rame debat siapa wakil manusia selanjutnya.
Populeritasnya meledak berkat adaptasi anime: Season 1 dan 2 Netflix 2021-2023 tarik 100 juta views, meski animasi Graphinica dikritik kaku. Tapi justru itu dorong orang baca manga asli, naikkan penjualan 30% pasca-rilis. Di 2025, pengumuman Season 3 Desember bikin preorder Volume 26 melonjak, sementara merchandise seperti figure Buddha edisi terbatas habis di AniList. Faktor globalisasi tokoh—dari Jepang ke Yunani—bikin appeal lintas budaya, plus representasi perempuan kuat seperti Brunhilde tambah daya tarik. Di TikTok, fan edit fight scenes raih miliaran views, sementara komunitas di Discord prediksi arc baru. Singkatnya, populer karena ia tak cuma action, tapi pesta mitologi yang bikin kamu root untuk underdog manusia—cocok untuk generasi yang suka hype turnamen seperti UFC campur Avengers.
Sisi Positif dan Negatif dari Komik Ini
“Shuumatsu no Valkyrie” seperti pertarungan dewa: epik tapi kadang brutal berlebih, dengan kekuatan dan kelemahan yang jelas. Sisi positifnya mencolok: diversity tokohnya luar biasa—dari petarung Afrika seperti Raiden Tameemon sampai filsuf Buddha—bikin cerita kaya tanpa terasa forced. Fight scenes genius, dengan strategi unik seperti “Eyes of the Lord” Adam yang counter serangan dewa, dorong kreativitas dan bikin pembaca belajar sejarah sambil senang-senang. Di Volume 25, pengembangan Loki sebagai anti-hero tambah kedalaman, sementara tema kemanusiaan resonan di era AI, seperti review ScreenRant November 2024 yang sebut “seinen gem yang underrated”. Secara industri, suksesnya bukti manga bulanan bisa saingi mingguan, inspirasi seri seperti “Jujutsu Kaisen” di adaptasi. Positifnya dominan karena ia hibur sekaligus edukasi, bikin fans bangga jadi “manusia” di turnamen ini.
Tapi, tak lepas dari celah. Plot repetitif—setiap arc formula sama: intro tokoh, build-up, klimaks brutal—bikin bosan setelah babak ke-7, seperti keluhan di Reddit yang bilang “sama seperti Dragon Ball tapi tanpa inovasi”. Karakter kadang dangkal: dewa digambarkan sombong klise, sementara backstory manusia terburu-buru, kurangi emosi. Ilustrasi Ajichika bagus, tapi pacing bulanan bikin transisi arc terasa lompat-lompat. Di 2025, kritik soal representasi gender naik—Brunhilde kuat, tapi valkyrie lain underutilized—plus kekerasan gore yang mungkin terlalu intens untuk pembaca muda. Meski begitu, kekurangannya minor dibanding adrenalinnya; komik ini desain untuk binge, bukan analisis mendalam.
Kesimpulan
“Shuumatsu no Valkyrie” adalah turnamen mitologi yang lahir 2017 dan raih puncak baru di 2025 lewat teaser Season 3 Netflix dan Volume 25 yang bikin deg-degan. Maknanya soal perjuangan manusia lawan takdir, dibalut fight epik yang tak tertandingi, bikin ia tetap jadi favorit seinen action. Meski repetitif dan karakter tipis jadi batu sandungan, komik ini pada dasarnya rayakan semangat underdog sebagai kekuatan terbesar. Seperti Zeus yang kalah dari Adam, “Shuumatsu no Valkyrie” ingatkan: kemenangan bukan dari kekuatan dewa, tapi hati manusia. Dengan Season 3 Desember nanti, kita tunggu apakah umat manusia menang—atau Ragnarok baru mulai.