Review Komik Bouryoku Banzai. Di tengah banjir serial manga baru yang sering kali mengikuti formula familiar, Bouryoku Banzai muncul sebagai angin segar yang brutal. Karya Homura Kawamoto—sang pencipta Kakegurui yang terkenal dengan taruhan mautnya—dan ilustrator Natsume Kazuki ini debut pada Maret 2025 di Weekly Young Magazine milik Kodansha. Hingga September 2025, komik ini telah merilis 28 chapter, dengan adaptasi one-shot awalnya berjudul Koroshi to Uso no Marriage yang dirilis April 2024 sebagai fondasi thriller polisi-kriminal. Bukan sekadar cerita pertarungan sekolah, Bouryoku Banzai mengeksplorasi sisi gelap kekerasan murni tanpa alasan mulia, menarik perhatian komunitas manga global. Di Reddit dan Anime-Planet, diskusi chapter terbaru seperti Ch. 14 yang dirilis Juni 2025 ramai dengan pujian atas intensitasnya, sementara rating di MyAnimeList stabil di 7.5/10 dari ribuan pembaca. Di era di mana manga fighting sering dibumbui motif heroik, seri ini bertanya: bagaimana jika kekerasan datang tanpa tujuan? Ini bukan bacaan ringan, tapi pengalaman yang memprovokasi, cocok untuk penggemar yang haus akan narasi tak terduga. BERITA BOLA
Sinopsis dari Komik Ini: Review Komik Bouryoku Banzai
Bouryoku Banzai mengikuti Masamichi Akita, siswa SMA biasa yang memprioritaskan hidup bijak dan menghindari masalah. Hidupnya berubah saat ia terlibat bentrokan dengan delinkuen sekolah dan diselamatkan oleh Setsuna Rikudou, gadis misterius dengan filosofi supremasi kekerasan. Alih-alih berterima kasih biasa, Akita justru terpesona oleh kekuatan Rikudou yang luar biasa dan memohon agar ia ajari cara bertarung. Namun, Rikudou tak segan menghancurkan ilusi Akita: “Kekerasan adalah satu-satunya aturan di dunia ini,” katanya, menyeret pemuda itu ke dunia bawah tanah penuh perkelahian jalanan brutal.
Dari one-shot asli Koroshi to Uso no Marriage, cerita berevolusi menjadi serial di mana Akita terjebak dalam siklus kekerasan tanpa akhir. Rikudou, protagonis sadis yang tak punya backstory trauma atau ambisi jadi terkuat seperti di manga yakuza biasa, bertarung semata-mata karena kesenangan—tendangan ke selangkangan, tusukan belakang, apa saja boleh. Chapter demi chapter, Akita yang lemah ini belajar teknik bertarung realistis, tapi semakin dalam ia tenggelam, semakin ia sadar betapa absurdnya dunia Rikudou. Pertarungan tak lagi soal balas dendam atau kehormatan; ini tentang survival di mana yang lemah dimakan hidup-hidup. Hingga Ch. 28 terbaru, plot membangun ketegangan dengan cliffhanger Akita menghadapi geng rival, sementara Rikudou tetap jadi enigma yang mendorong narasi ke arah kegilaan murni.
Mengapa Komik Ini Enak Untuk Dibaca
Yang bikin Bouryoku Banzai susah dilepas adalah ritme narasinya yang seperti pukulan cepat: setiap chapter penuh aksi tanpa filler bertele-tele. Ilustrasi Natsume Kazuki, dengan garis tebal dan panel dinamis, membuat adegan pertarungan terasa mentah dan realistis—dampak pukulan ke wajah digambarkan dengan efek suara “crack” yang bikin pembaca meringis. Kawamoto, ahli membangun ketegangan dari Kakegurui, di sini ubah formula jadi street fight tanpa taruhan, tapi dengan twist psikologis: Akita bukan pahlawan yang tumbuh kuat, melainkan korban yang perlahan rusak.
Pacing-nya ideal untuk binge-read; chapter pendek (sekitar 20 halaman) tapi padat, dengan dialog tajam yang campur humor gelap dan filsafat kekerasan. Di Ch. 11 dan 13, misalnya, pertarungan melawan petarung berat badan menonjolkan realisme—MMA ala jalanan di mana berat badan dan pukulan mematikan jadi faktor kunci, bukan power-up magis. Bagi fans Kengan Ashura, ini seperti versi lebih intim dan sadis, dengan Rikudou sebagai anti-hero yang unpredictable. Enak dibaca karena tak ada pretensi moral; ini hiburan kasar yang bikin adrenalin naik, sempurna untuk sesi malam di mana kamu ingin lari dari rutinitas, tapi tetap dapat tamparan realitas.
Sisi Positif dan Negatif dari Komik Ini
Sisi positif Bouryoku Banzai terletak pada keberaniannya menantang trope manga fighting. Karakter Rikudou, yang bertarung tanpa motif—bukan balas dendam atau ambisi—memberi perspektif segar tentang kekerasan sebagai kekacauan murni, mirip thriller psikologis daripada shonen biasa. Ini dorong diskusi mendalam di komunitas, seperti di Reddit di mana pembaca puji bagaimana seri gambarkan dampak fisik realistis, seperti cedera kepala kumulatif yang bikin Akita rentan. Secara artistik, kolaborasi Kawamoto-Kazuki solid: plot twist di Ch. 14 yang libatkan pengkhianatan internal tambah lapisan, sementara desain karakter Rikudou yang cantik tapi ganas bikin ia ikonik. Seri ini juga sukses komersial, dengan volume pertama terjual 100.000 kopi di Jepang sejak Mei 2025, dan adaptasi anime dirumorkan untuk 2026.
Tapi, tak luput dari kritik. Beberapa pembaca kecewa karena evolusi dari one-shot thriller romansa kriminal jadi fighting sekolah terasa kurang ambisius—seperti hilangnya elemen misteri mendalam, diganti aksi repetitif yang kadang terasa gore demi gore. Di Anime-Planet, ulasan sebut Rikudou “terlalu gila tanpa backstory”, membuatnya sulit dieksplorasi secara emosional setelah 28 chapter. Kekerasan ekstremnya juga berpotensi off-putting bagi pembaca sensitif, dengan adegan seperti tendangan vital yang digambarkan eksplisit, meski realistis. Dari pacing, chapter tengah (sekitar Ch. 8-12) agak lambat saat fokus training Akita, kurang inovasi dibanding rival seperti STAR: Strike It Rich. Secara keseluruhan, kekurangan ini bikin seri lebih niche, tapi justru perkuat identitasnya sebagai manga yang tak mau aman.
Kesimpulan: Review Komik Bouryoku Banzai
Bouryoku Banzai adalah tamparan segar di wajah genre fighting, membuktikan bahwa Homura Kawamoto masih punya trik untuk bikin pembaca gelisah. Melalui perjalanan Akita yang tragis dan Rikudou yang tak terkendali, komik ini ingatkan bahwa kekerasan tak selalu punya alasan heroik—kadang, ia hanya ada untuk menghancurkan. Dengan 28 chapter yang intens dan potensi adaptasi besar, seri ini layak jadi prioritas di rak baca 2025. Jika kamu bosan dengan pahlawan tak terkalahkan, ambil ini: biarkan pukulan-pukulannya ajari bahwa di dunia nyata, bertahan bukan soal kuat, tapi sadar. Siapa tahu, setelah selesai, kamu akan renungkan: apakah hidupmu butuh sedikit “banzai” kekerasan untuk bangun?